Jumat, 04 Februari 2011

Manajemen Berdasarkan Sasaran ( MBO)


MANAJEMEN BERDASARKAN SASARAN
(MANAJEMEN by OBJECTIVES=MBO)

            Istilah manajemen berdasarkan sasaran (MBO) dipopulerkan sebagai pendekatan pada perencanaan oleh Peter Drucker pada tahun 1964 dalam bukunya The Practice of Manajemen. Sejak itu MBO telah memacu banyak pembahasan, evaluasi, dan riset. Banyak program jenis MBO telah dikembangkan, termasuk manajemen berdasarkan hasil (manajemen by result), manajemen sasaran (goals manajemen), perencanaan dan peninjauan kembali pekerjaan (work planning and review), sasaran dan pengendalian (goals and controls), dan lain-lainnya. Walaupun artinya berbeda-beda program ini sama. Penggunaannya tidak hanya dalam dunia usaha saja tetapi telah semakin berkembang luas pada dunia nonbisnis, seperti organisasi pendidikan, kesehatan, keagamaan, dan pemerintahan.
            MBO mengacu kepada seperangkat prosedur yang formal atau nonformal yang dimulai dengan penetapan sasaran dan dilanjutkan sampai peninjauan kembali hasil pelaksanaanya. Kunci MBO ialah bahwa MBO merupakan proses partisipasi atau  peran serta, secara aktif melibatkan manajer dan anggota staf pada setiap organisasi. Dengan membuat struktur organisasi itu tetap berfungsi sebagaimana fungsi-fungsi dari perencanaan dan pengendalian tetap eksis pada organisasinya yang mengacu pada MBO. MBO dengan ini bisa membantu banyak rintangan yang dihadapi oleh organisasi tersebut.
            Titik permulaan MBO adalah filosofi yang sangat positif tentang manusia dan apa yang membuat mereka ingin bekerja. Menurut Douglas McGregor, ada dua perangkat asumsi tentang bagimana manusia didorong untuk bekerja. Dalam pandangan tradisional, manusia menganggap bekerja hanya perlu agar tetap bertahan hidup dan mereka tidak memikirkan untuk berkembang dalam melakukan pekerjaannya. Menurut pandangan ini yang dikenal dengan teori X, para manajer harus tegas dan otoriter, karena bila  tidak para bawahan tidak akan mengalami perkembangan dalam pekerjaannya atau bahkan perusahaan tersebut mengalami kemunduran, dengan ini juga membawa keburukan pada hasil produksi yang mereka kerjakan oleh para karyawannya. Sedikit sekali perusahaan yang berhasil tanpa manajer yang tegas dan otoriter, bahkan tidak ada sama sekali.
            Sebaliknya para penyokong MBO tampaknya berpegang pada sikap yang jauh lebih optimis terhadap sifat-sifat manusia, yang dikenal dengan teori Y, manusia ingin dan berhasrat untuk bekerja, memperoleh banyak kepuasan dari pekerjaan dalam keadaan yang tepat, dan juga dapat melakukan pekerjaan dengan baik. MBO bermaksud untuk mengambil keuntungan dari keinginan dan kemampuan untuk bekerja dengan cara menunjukkan kepada para manajer bagaimana menyediakan suatu iklim yang akan menghasilkan yang terbaik bagi semua anggota staf dan memberi kesempatan untuk pengembangan diri dan juga memberi kesempatan kepada para bawahan untuk bisa lebih baik lagi dari sebelumnya atau mungkin dari para bawahan (staf dan lain-lainnya) ada juga yang diangkat menjadi lebih baik dari pekerjaan sebelumnya, misalnya diangkat menjadi staf, sekretaris bahkan menjadi manajer perusahaan itu, dengan syarat menenunjukkan kedisiplinan yang tinggi dan juga pada bidang pekerjaan yang mereka lakukan, dengan mengikuti seleksi yang cukup ketat dengan para bawahan yang lainnya pada perusahaan itu.

Manajemen Berdasarkan Sasaran, Apakah Itu?
            Intisari dari sistem MBO terletak pada penetapan sasaran umum oleh para manajer dan bawahannya yang bekerja sama-sama. Setiap bidang tanggung jawab utama seseorang ditetapkan dengan jelas dipandang dari segi hasil-hasil yang diharapkan yang dapat diukur (tujuan dan objektifnya). Tujuan ini digunakan oleh para bawahan dalam merencanakan pekerjaan mereka serta oleh para bawahan dan atasan mereka untuk memonitor kemajuan. Penilaian atas unjuk kerja (performance apprasial) dilakukan bersama-sama atas dasar kesinambungan, dengan ketentuan untuk peninjauan kembali secara berkala dan teratur.
            Dalam bukunya The Practice of Management, Drucker memperbandingkan manajement by objectives dengan management by drives (manajemen berdasarkan dorongan). Ia menggunakan istilah yang kedua untuk melukiskan tanggapan atau respon organisasi terhadap tekanan keuangan atau pasar yang baru dengan “dorongan penghematan” (economy drive) atau “dorongan produksi” (production drive). Dalam praktek, hal ini menghasilkan sutau perbaikan yang hanya bersifat sementara. Biasanya manajemen hanya menghasilkan ketidak-efisienan yang lebih besar dan ketidak-puasan yang lebih banyak atau lebih baik.
            Sebaliknya, dalam MBO, perencanaan efektif tergantung sampai sejauh mana manajer menetapkan dengan jelas tujuan yang berlaku secara khusus bagi fungsinya di dalam perusahaan. Tujuan setiap manajer juga harus memberikan sumbangan pada tujuan dari pimpinan yang lebih tinggi dan tujuan perusahaan secara keseluruhan. Penentuan tujuan ini memberikan fokus yang tajam bagi semua kegiatan manajerial.
            Bagaimana tujuan ini dicapai merupakan hal yang sangat penting. Seperti dijelaskan oleh Drucker, para manajer harus menetapkan tujuan-tujuan mereka sendiri, atau setidak-tidaknya, aktif terlibat dalam proses penetapan tujuan. Penetapan tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu kepada para manajer menghadapi resiko yang sangat nyata, yaitu mereka mungkin akan menolak untuk bekerja sama atau hanya berusaha dengan setengah hati untuk melaksanakan tujuan-tujuan orang lain.
            Di samping itu, Drucker menyarankan agar para manajer pada setiap tingkatan hrus berperan serta dalam menetapkan tujuan yang lebih luas dari perusahaan dan bagaimana tujuan khusus berkaitan dengan gambaran secara keseluruhan.
            Bagi Drucker, hubungan antara tujuan-tujuan individu dengan sasaran umum adalah sangat penting. Tujuan utama dari pelaksaan MBO untuk mencapai pelak sanaan yang efektif  dari keseluruhan organisasi melalui pelaksanaan yang efisien dan integrasi bagian-bagiannya.
            Sebaliknya, Douglas McGregor, lebih menginginkan MBO karena bernilai sebagai suatu sistem perencanaan dan sistem penilaian hasil pelaksaan. Ia menyarankan agar para manajer secara individu, setelah mempunyai kata sepakat mengenai tanggung jawab dari pekerjaan pokok mereka dengan atasan alangsung mereka, menetapkan tujuan hasil pelaksanaan mereka sendiri untuk jangka waktu yang pendek, misalnya enam bulan. Jadi, mereka juga bertanggung jawab untuk membuat rencana khusus untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Pada akhir dari jangka waktu itu, setiap manajer mengadakan penilaian sendiri yang kemudian dibahas dengan atasan, dan kemudian mentapkan tujan-tujuan baru untuk jangka waktu berikutnya. Dengan cara demikian kergu-raguan dan ketegangan yang sering menyertai jenis-jenis lain dari program penilaian dapat dikurangi.
            MBO dalam paraktek. Hampir 30 tahun telah lewat sejak Drucker memperkenalkan konsep MBO. Pada tahun-tahun terkhir banyak penulis manajemen telah memperluas gagasan ini berdasarkan tema dari Drucker. Tetapi apakah MBO telah menjadi pendekatan yang mantap bagi perusahaan Amerika?
            MBO disoroti dalam majalah profesional yang meniulis bahwa dalam suatu survey nasional yang dilakukan oleh empat perusahaan konsultan, MBO adalah salah satu dari 13 teknik manajemen yang digunakan dalam industri, misalnya elektronic data processing, sistem informasi manajemen (management information systems), pengembangan organisasi (organizational develoipment), dan pembiayaan langsung (direct costing).
            Suatu penelitian pada tahun 1974 menemukan bahwa walaupun separuh dari perusahaan-perusahaan besar menggunakan salah satu bentuk dari MBO, tetapi kurang dari sepuluh persen mersakan bahwa mereka memperoleh penerapan yang sangat berhasil. Penelitian itu menemukan bahwa walaupun baanyak perusahaan yang menggunakan program MBO berhasil, tetapi lebih banyak lagi yang salah mengerti tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh MBO atau bagaimana MBO itu seharusnya diterapkan.
            Dalam suatu studi berikutnya, 41% dari rumah sakit yang diteliti menggunakan MBO dan 33% lagi sedang merencanakan untuk mulai menggunakan MBO dalam waktu dekat. Bagian terbesar dari responden melaporkan bahwa MBO telah meningkatkan hasil pelaksanaan dalam bidang-bidang seperti perencanaan, pengkoordinasian, pengendalian dan komunikasi.

Sistem MBO Formal
            Program MBO bisa sangat berbeda-beda. Beberapa program dirancang untuk digunakan pada suatu subunit, sedangkan yang lainnya digunakan untuk organisasi secara keseluruhan. Metode dan pendekatan tertentu yang digunakan oleh para manajer dalam suatu program MBO akan berbeda-beda. Juga mungkin ada perbedaan-perbedaan yang besar dalam penekanan. Misalnya, di Inggris, MBO dikenal terutama sebagai sistem untuk perencanaan perseroan atau pengembangan strategi. Penekanan terletak pada efisiensi dalam pencapaian tujuan perusahaan. Di Amerika Serikat, motivasi individu lebih sering menjadi pusat perhatian. Para manajer lebih memusatkan pada kebutuhan manusia dan pada peran serta bawahan yang semakin meningkat dalam penetapan sasaran, daripada memusatkan pada strategi. Namun demikian, dalam hampir semua sistem MBO yang efektif, terdapat unsur-unsur yang lazim, sebagai berikut:

Ø  Kesepakatan pada Program.
Pada setiap tingkat organisasi, keterikatan para manajer pada pencapaian tujuan pribadi dan organisasi serta pada proses MBO diperlukan agar program itu efektif. Banyak waktu dan tenaga yang diperlukan untuk melaksanakan suatu program MBO yang berhasil. Para manajer harus mengadakan pertemuan dengan para bawahan, pertama untuk menetapkan tujuan-tujuan dan kemudian untuk mengkaji kembali kemajuan dalam menuju tujuan tersebut. Tidak ada jalan pintas yang mudah. Bila sasaran telah ditetapkan tetapi tidak dikaji kembali secara berkala, tujuan itu tidak mungkin akan tercapai. bila kemajuan bawahan dikaji kembali dengan cara penilaian yang berlebihan, hal ini akan mengandung kebencian, dan kegunaannya akan berkurang. Para bawahan yang bekerja juga merasa dirinya diperlakukan seenaknya (di awasi terus-menerus) saja oleh para penilai atau pengawas pekerja. Hal ini akan mendorong terjadinya protes dari para pegawai bawahan.
Ø  Penetapan Sasaran Tingkat Puncak.
Program perencanaan yang efektif biasanya dimulai dengan para manajer puncak yang menetapkan sasaran pendahuluan setelah berkonsultasi dengan para anggota organisasi yang lain. Sasaran harus dinyatakan dengan istilah yang khusus dan dapat diukur, misalnya peningkatan lima persen dalam penjualan kuartal yang akan datang, tidak ada peningkatan dalam biaya-biaya eksploitasi pada tahun ini, dan sebagainya. Dengan cara demikian, para manajer dan bawahan akan mempunyai pengertian yang lebih jelas tentang apa yang diharapkan oleh pimpinan puncak untuk dicapai, dan mereka dapat melihat bagaimana pekerjaan mereka itu berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran organisasi.
Ø  Sasaran Individual.
Dalam progaram MBO yang efektif, setiap manajer dan bawahan telah menetapkan dengan jelas tanggung jawab pekerjaan dan tujuan-tujuannya, misalnya manajer subunit A akan bertanggung jawab atas peningkatan penjualan 15% dalam jangka waktu dua bulan. Maksud dari penetapan tujuan dengan menggunakan istilah-istilah pada setiap tingkatan ialah untuk membantu para pegawai agar mengerti dengan jelas apa yang diharapkan untuk dicapai. Hal ini membantu setiap rencana individual secara efektif untuk mencapai sasaran yang ditargetkan.
Sasaran untuk setiap individu harus ditetapkan dengan konsultasi antara individu itu dengan atasannya. dalam konsultasi bersama itu, para bawahan membantu para manajer mengembangkan tujuan yang realitas karena mereka mengetahui dengan baik apa yang mampu mereka capai. Para manajer membantu para bawahannya untuk meningkatkan pandangan mereka terhadap tujuan yang lebih tinggi dengan menunjukkan keinginan untuk membantu mereka dalam mengatasi rintangan serta kepercayaan pada kemampuan para bawahan.
Ø  Peranserta (Participation).
Derajat peranserta bawahan dalam menetapkan tujuan sangat berbeda-beda. Pada satu ekstrim, seorang bawahan mungkin berperanserta hanya dengan ikut hadir ketika pimpinan sedang menentukan tujuan. Pada ekstrim lainnya, para bawahan mungkin sama sekali bebas untuk menetapkan tujuan mereka dan metode untuk mencapai tujuan itu. Kedua ekstrim ini tidak ada yang efektif. Para manajer kadang-kadang menetapkan tujuan tanpa mengetahui sepenuhnya tentang kendala di mana bawahan mereka harus bekerja. Para bawahan kemungkinan memilih tujuan yang tidak sejalan dengan sasaran organisasi. Sebagai kebiasaan, semakin besar peranserta para manajer dan bawahan dalam penetapan sasaran, semakin baik kemungkinannya sasaran itu akan tercapai.
Ø  Otonomi Dalam Pelaksanaan Rencana.
Begitu sasaran telah ditetapkan dan disetujui, individu itu mempunyai kebijakan yang luas untuk memilih sarana-sarana guna pencapaian tujuan tersebut. Dalam kendala yang normal dari kebijakan organisasi, para manajer harus bebas mengembangkan dan melaksanakan program-program untuk mencapai sasaran tanpa penafsiran kembali oleh atasan langsung mereka. Dari berbagai aspek yang mereka plih dengan bebas dalam menentukan sarana dan kebijakan yang diberikan oeh perusahaan atau oraganisasi, maka para pegawai bawahan merasa diuntungkan dengan program MBO atau otonomi dalam pelaksanaan rencana. Perlu digaris bawahi, bahwa para pegawai juga tidak bisa semaunya sendiri dalam menentukan kebijakannya, juga harus menyangkut pada peraturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan atau organisasi tersebut. Dan aspek dari program MBO tersebut, sangat dihargai oleh para manajer dan juga para pegawai bawahan.
Ø  Pengkaajian Kembali Untuk Kerja.
Para manajer dan bawahan secara berkala mengadakan pertemuan untuk mengkaji kembali kemajuan dalam menuju sasaran. Selama pengkajian kembali, mereka memutuskan masalah-masalah yang ada, dan apa yang dapat mereka lakukan masing-masing untuk memecahkannya. Bila perlu tujuan-tujuan itu dapat dimodifikasi untuk periode peninjauan kembali yang akan datang.
Agar adil dan berguna, pengkajian kembali harus didasarkan atas hasil unjuk kerja yang dapat diukur, bukan atas kriteria yang subjektif, seperti sikap dan kemampuan. Misalnya, daripada berusaha untuk menilai bagaimana giatnya seorang wiraniaga di lapangan, seorang manajer seharusnya menekankan pada angka-angka hasil penjualan nyata yang dicapai dan sebagai pengetahuan terinci mengenai pelanggannya.

Proses MBO
            Walaupun penekanan dan metodenya sangat berbeda-beda, tetapi hampir semua program MBO yang efektif meliputi unsur-unsur, sebagai berikut:
a.        kesepakatan terhadap pendekatan pada semua tingkat organisasi.
b.        penetapan sasaran dan perencanaan yang efektif oleh pimpinan puncak.
c.        penetapan sasaran-sasaran individual yang berkaitan dengan sasaran organisasi oleh para manajer dan bawahan.
d.       otonomi yang luas dalam pengembangan dan pemilihan sarana untuk mencapai tujuan.
e.        Tinjauan teratur atas unjuk kerja (performance) dalam hubungannya dengan tujuan.

Evaluasi MBO
            Apakak konsep MBO benar-benar berjalan? Stephen J. Carroll dan Henry L. Tosi mengkaji kembali riset pada tiga konsep kunci. Penetapan khusus, umpan balik pada unjuk kerja, dan peranserta, untuk menentukan apakah optimisme tentang MBO dapat dibenarkan. Evaluasi itu meliputi:
Ø  Penetapan Sasaran (Goal Setting)
Bukti dengan jelas menunjukkan bahwa bila tiba penetapan sasaran, keberhasilan yang satu menyebabkan keberhasilan yang lebih mudah pada yang lainnya juga. Para individu yang menentukan sasaran mereka sendiri cenderung menuju peningkatan dari hasil unjuk kerja yang lampau. Bila mereka telah mencapai peningkatan ini, mereka kemudian menetapkan lagi sasaran yang lebih tinggi. Tetapi, bila mereka gagal mencapai target mereka, mereka cenderung untuk menetapkan tingkat yang lebih konservatif untuk periode berikutnya.
Riset ini juga memberi kesan bila para pegawai diberi sasaran tertentu, mereka akan mencapai hasil pelaksanaan yang lebih tinggi daripada mereka yang hanya diminta untuk berbuat sebaik-baiknya. Tetapi bila pegawai merasakan bahwa sasaran itu cenderung tidak mungkin tercapai, maka hasil unjuk kerjanya kemungkinan akan menurun.
Walaupun hampir semua riset yang dikaji kembali oleh Carroll dan Tosi tidak dilakukan dalam organisasi yang mempunyai program MBO yang mantap, tetapi riset itu menunjukkan bahwa MBO akan meningkatkan unjuk kerja, bila sasarannya realistis dan diterima oleh para pegawai yang terlibat. Namun demikian, derajat peningkatan yang sebenarnya tergantung pada banyak faktor, seperti pengalaman masa lampau para pegawai secara individu dengan keberhasilan atau kegagalan dalam pencapaian sasaran dan sesulit manakah sasaran-sasaran itu sebenarnya.
Ø  Umpan-balik tentang Unjuk Kerja (Feedback on Performance)
Juga terdapat bukti yang jelas bahwa pemberian umpan-balik tentang hasil unjuk kerja (prestasi atau performance) kepada pera pegawai biasanya menyeabkan unjuk kerja/prestasi yang lebih baik. Di samping itu, proses pengkajian kembali secara berkala ternyata mempunyai akibat yang positif pada sikap para pegawai, menciptakan rasa persahabatan, kepercayaan pada pemimpin, dan kemauan menerima kritik yang lebih toleran.
Beberapa makalah memperlihatkan hubungan antara kualitas umpan-balik dengan derajat peningkatan, yaitu makin spesifik dan tepatnya waktu umpan-balik, makin positif akibatnya. Cara umpan-balik itu diberikan juga mempengaruhi performance. Umpan balik itu harus diberikan dengan cara yang bijaksana, terutama bila umpan-balik itu membawa kegagalan dalam mencapai tujuan. Bila tidak maka akan timbul kebencian dan prestasi yang minim.
Ø  Peranserta
Hampir semua studi riset tentang peranserta menunjukkan bahwa bawahan yang berperanserta dalam penetapan sasaran mereka sendiri, nampaknya menunjukkan tingkat prestasi/unjuk kerja yang lebih tinggi daripada mereka yang mempunyai sasaran yang telah ditetapkan untuk mereka. Dalam studi yang terkenal yang dilakukan General Electric, bawahan yang mempunyai lebih banyak pengaruh dalam penentuan sasaran menunjukkan sikap yang lebih menyenangkan dan tingkat prestasi yang lebih tinggi. Sebaliknya bawahan yang mempunyai sedikit pengaruh, menunjukkan perilaku yang bersifat defensif, dan dalam beberapa hal, tingkat prestsi yang lebih rendah.
Riset tersebut menunjukkan bahwa setidak-tidaknya ada dua cara di mana peranserta dalam menetapkan sasaran dapat menyebabkan prestasi yang lebih tinggi. Pertama, peranserta dapat menyebabkan kemungkinan yang lebih besar bahwa sasaran akan diterima, dan sasaran yang telah diterima akan lebih mungkin untuk dicapai. Kedua, peranserta dapat membawa pada penetapan sasaran yang lebih tinggi, dan sasaran yang lebih tinggi membawa hasil prestasi yang lebih tinggi.
Carroll dan Tosi juga menyimpulkan bahwa, di samping dampaknya pada prestasi, proses peranserta akan membawa pada komunikasi dan pengertian yang lebih baik antara manajer dengan bawahan.

Masalah dalam mengevaluasi program MBO
            Alasan utama tentang kurangnya studi mengenai program MBO secara keseluruhan ialah kesulitan untuk melakukan riset seperti itu. Agar lebih bermanfaat, suatu studi harus dilaksanakan sebagai eksperimen lapangan yang terkendali di mana dapat dibandingkan antara prestasi kelompok-kelompok yang sama, yang hanya berbeda  dalam hal sejumlah terbatas pada faktor variabel saja. Tidak umum bagi seorang untuk memberi izin pada orang luar untuk melakukan bentuk eksperimen dalam organisasinya, atau mempunyai waktu dan kesabaran untuk berperanserta dalam melakukan eksperimen tersebut. Bahkan bila dukungan seperti itu diperoleh, masih akan tetap sulit untuk mengendalikan faktor variabel yang sangat penting yang dapat mempengaruhi eksperimen tersebut. Karena waktu yang lama mungkin harus dilalui sebelum dapat terlihat perbaikan-perbaikan sebagai hasil dari pelaksanaan program MBO, maka masalah tentang pengendalian variabel-variabel penting menjadi semakin sulit dan kemungkinan bahwa perubahan dan kejadian lain yang akan mempengaruhi hasilnya akan semakin meningkat.   

Kekuatan dari MBO
            Dalam suatu penelitian tentang para manajer, Tosi dan Carroll mencatat keuntungan-keuntungan utama dari program MBO antara lain:
1.      program MBO memberi kesempatan kepada para individu untuk mengetahui apa yang diharapkan dari mereka.
2.      program MBO membantu dalam perencanaan dengan membuat para manajer menetapkan sasaran dan waktu yang ditargetkan.
3.      program MBO meningkatkan komunikasi antara para manajer dan bawahan
4.      program MBO membuat para manajer lebih menyadari tentang sasaran organisasi
5.      progaram MBO membuat proses manajemen lebih wajar dengan memusatkan pada suatu pencapaian. Program ini juga memberi kesempatan kepada para bawahan untuk mengetahui sebaik mana mereka bekerja dalam kaitannya dengan sasaran organisasi
Dari penelitian ini serta analisis lainnya, tampak jelas bahwa MBO mempunyai keuntungan bagi para individu dan organisasi. Bagi individu mungkin keuntungan utamanya ialah meningkatnya rasa keterlibatan dan pengertian tentang sasaran organisasi. Ini memungkinkan usaha dipusatkan di mana usaha itu sangat diperlukan dan sangat mungkin untuk diberikan penghargaan. Di samping itu tiap individu mengetahi bahwa mereka akan dinilai, bukan berdasarkan hubungan pribadi atau prasangka atasan, tetapi berdasarkan sebaik mana mereka mencapai sasaran yang mereka sendiri telah membantu menetapkannya. Sebagai akibatnya, individu-individu dalam suatu proses MBO lebih besar kemungkinannya untuk melaksanakan tanggung jawab mereka dengan penuh kemauan dan keberhasilan.
Semua keuntungan individu ini setidak-tidaknya secara tidak langsung akan memberikan keuntungan kepada perusahaan atau organisasi. Di samping itu ada keuntungan pada suatu program MBO yang dilaksanakan dengan berhasil yang berlaku langsung pada organisasi. Karena karena semua tingkat dalam organisasi membantu dalam penetapan tujuan, maka sasaran dan tujuan oraganisasi menjadi lebih realistis. Juga komunikasi yang bertambah baik sebagai akibat adanya MBO, dapat membantu organisasi untuk mencapai sasarannya dengan lebih baik. Artinya, seluruh organisasi mempunyai rasa kesatuan yang meningkat. Dan para pegawai bawahan lebih menyadari apa yang diharapkan oleh pimpinan puncak dan pada gilirannya aka membantu dalam penetapan tujuan yang dapat dicapai.

Kelemahan-kelemahan MBO
            MBO, tentu saja tidak menyelesaikan semua masalah organisasi. Penilaian dari para bawahan merupakan bidang yang sangat sulit karena hal ini menyangkut status, gaji, dan kenaikan pangkat. Bahkan dalam program MBO yang paling baik pun, proses pengkajian kembali mungkin dapat menyebabkan ketegangan dan kebencian. Tidak semua prestasi dapat dikuantifikasikan atau diukur. Bahkan bila apa yang akan dicapai dapat diukur, misalnya jumlah penjualan total di daerah bawahan tersebut mungkin tidak bertanggung jawab untuk hal tersebut. Misalnya, penjualan mungkin menurun walaupun bawahan telah berusaha dengan sebaik-baiknya disebabkan oleh langkah dari para pesaing yang tidak diperkirakan sebelumnya. Perubahan-perubahan yang diinginkan oleh MBO dalam perilaku para manajer mungkin juga menimbulkan masalah. Dalam MBO, penekanan diubah dari menilai para bawahan menjadi membantu mereka. Ini merupakan perubahan yang sulit dilakukan oleh para manajer.
            Hampir semua masalah merupakan persoalan yang berulang-ulang terjadi yang dihadapi oleh para anggota organisasi, baik mereka mempunyai program MBO maupun tidak. Namun demikian, ada dua kategori kelemahan yang khas bagi organisasi yang mempunyai program MBO formal. Dalam kategori pertama adalah kelemahan yang melekat (inherent) dalam proses MBO. Ini membutuhkan banyak waktu dan upaya dalam mempelajari penggunaan teknik MBO dengan tepat serta pekerjaan tulis-menulis yang biasanya diperlukan. Dalam kategori kedua ada kelemahan yang secara teoritis tidak perlu, tetapi yang tampaknya sering berkembang bahkan dalam program-program MBO yang dilaksanakan dengan tepat.
            Kategori yang kedua meliputi beberapa masalah penting yang harus dikendalikan bila program itu tidak berhasil, yaitu:
  1. Gaya dan dukungan pimpinan
bila para manajer puncak lebih menyukai pendekatan yang otoriter dan pengambilan keputusan yang terpusat, maka mereka akan memerlukan pendidikan kembali secara serius sebelum dapat melaksanakan program MBO.
  1. Adaptasi dan perubahan
MBO mungkin memerlukan banyak perubahan dalam struktur organisasi, pola wewenang dan prosedur pengendalian. Para manajer harus mendukung perubahan-perubahan ini. Mereka yang berperan serta hanya karena terpaksa untuk mendukung organisasi itu akan dengan mudah menyebabkan kegagalan program tersebut.
  1. Kecakapan hubungan antarpribadi (interpersonal skill)
penetapan tujuan dan proses pengkajian kembali oleh manajer dan bawahan memerlukan tingkat kecakapan yang tinggi dalam hubungan antarpribadi. Banyak manajer yang tidak mempunyai pengalaman sebelumnya atau kemampuan yang lazim dalam bidang ini. Pendidikan dalam pembibingan dan wawancara mungkin diperlukan.
  1. Uraian tugas (job description)
penggunaan daftar khusus dari tujuan dan tanggung jawab individu adalah sulit dan menghabiskan waktu. Di samping itu uraian tugas harus dikaji kembali dan direvisi karena keadaan dalam organisasi berubah. Hal ini terutama penting selama taraf pelaksanaan, bila dampak dari sistem MBO sendiri dapat menyebabkan perubahan dalam tugas dan tanggung jawab pada tiap tingkat.
  1. Penetapan dan pengkoordinasian tujuan
penyusunan sasaran yang penuh tantangan tetapi realistis sering merupakan sumber kekacauan bagi para manajer. Mungkin terdapat kesulitan dalam membuat tujuan itu dapat diukur, dalam menemukan jalur yang baik antara sasaran yang terlalu mudah dan tidak mungkin dalam melukiskan tujuan secara jelas dan tepat. Tambahan pula, mungkin sulit mengkoordinasikan seluruh tujuan organisasi dengan kebutuhan pribadi dan tujuan-tujuan individu.


  1. Pengendalian terhadap metode pencapaian sasaran
frustasi yang mendalam bisa terjadi bila usaha seorang manajer untuk mencapai sasaran tergantung kepada pencapaian usaha-usaha lain dalam organisasi. Misalnya, manajer bagian produksi tidak diharapkan akan mencapai sasaran merakit 100 unit per hari bila bagiannya diberi suku cadang hanya untuk 90 unit. Penetapan sasaran kelompok dan keluwesan diperlukan untuk menyelesaikan persoalan macam ini.
  1. Konflik antara kreativitas dan MBO
Mengutamakan prestasi, peningkatan dan kepuasan pada pencapaian sasaran mungkin tidak akan produktif bila cenderung menghambat inovasi. Bila para manajer gagal untuk mencoba sesuatu yang baru dan mungkin mengandung risiko karena tenaga mereka dicurahkan pada tujuan-tujuan MBO tertentu, beberapa kesempatan mungkin akan hilang. Untuk menghindari bahaya ini, Odiorne mengusulkan agar kesepakatan terhadap inovasi dan perubahan harus merupakan bagian dari proses penetapan sasaran.

Agar MBO Efektif
            MBO jangan diharap sebagai obat mujarab untuk perencanaan organisasi, motivasi, evaluasi, dan kebutuhan pengendalian. Juga, tentu saja ini bukan merupakan proses sederhana yang dapat dengan cepat dan mudah dilaksanakan. Namun, demikian, banyak organisasi yang menggunakan bentuk tertentu dari MBO. Kesadaran mulai tumbuh tentang keuntungan mempunyai mekanisme untuk penetapan dan evaluasi sasaran manajemen, serta untuk pengintegrasian sasaran pribadi dengan sasaran organisasi.
            Karena banyak di antara kita menjumpai jenis dari progaram penetapan sasaran formal, maka kita harus mengkaji kembali beberapa dari unsur-unsur yang diperlukan untuk keefektifan MBO. Ini dapat dilihat sebagai langkah penting yang diperlukan dari manajer tingkat tertinggi yang terlibat dalam program tersebut.
            Agar MBO efektif dalam suatu organisasi, ada beberapa hal yang harus di perhatikan, antara lain:
a.       Tunjukkan kesepakatan yang berkesinambungan dari pimipinan tingkat tinggi.
Penerimaan pertama dan antusiasme dari para pegawai untuk program MBO dapat hilang dengan cepat kecuali jika pimpinan tertinggi melakukan usaha bersama untuk mempertahankan agar sistem itu tetap hidup dan berfungsi dengan sepenuhnya. Para manajer yang menemukan kesulitan untuk menetapkan dan menkaji ulang tujuan-tujuan, mungkin akan kembali pada pendekatan-pendekatan yang lebih tradisional dan otoriter. Para pimpinan puncak harus menyadari kecenderungan ini tetap menjadi bagian penting dari prosedur pelaksanaan organisasi.
b.       Didik dan latih para manajer.
Agar MBO berhasil para manajer harus memahami MBO tersebut dan mempunyai kecakapan yang memadai. Mereka harus dididik mengenai prosedur dan keuntungan dari sistem itu dan kecakapan yang diperlukan, dan harus dibantu untuk mengerti tentang manafaat yang diberikan oleh MBO kepada organisasi dan pada karir mereka sendiri. Bila para manajer tetap mempunyai rasa enggan, maka program MBO tidak akan berhasil.
c.        Rumuskan tujuan-tujuan dengan jelas.
 Para manajer dan bawahan harus merasa puas bahwa itu realistis dan dimengerti dengan jelas, dan bahwa tujuan-tujuan tersebut akan digunakan untuk mengevaluasi prestasi. Mungkin perlu untuk melatih para manajer dalam kecakapan untuk menyusun sasaran yang berguna dan dapat diukur serta menyampaikannya secara efektif.
d.       Laksanakan umpan-balik secara efektif.
Suatu sistem MBO tergantung pada para peserta yang mengetahui di mana mereka berdiri dalam hubungannya dengan tujuan mereka. Penetapan tujuan bukan merupakan perangsang yang memadai. Tinjauan terhadap prestasi yang teratur dan umpan-balik dari hasil-hasil juga diperlukan.
e.        Anjurkan adanya peranserta.
Para manajer harus menyadari bahwa peranserta oleh para bawahan dalam penetapan sasaran bersama dapat mengandung suatu pengalokasian kembali kekuasaan. Para manajer harus mau melepaskan pengendalian langsung tertentu atas bawahannya dan mendorong bawahanya itu untuk mengambil peranan lebih aktif dalam penetapan dan pencapaian tujuan mereka sendiri. Beberapa manajer merasa tidak senang dengan hilangnya kekuasaan ini, tetapi program MBO akan menjadi efektif bila mereka melepaskan pengendalian tertentu.

Beberapa Spekulasi Tentang Keberhasilan dan Kegagalan MBO
            Sampai pada titik ini, kita telah mencoba untuk membatasi pengamatan dan kesimpulan kita tentang MBO pada pernyataan yang didasarkan pada riset dan pandangan dari para manajer yang berpengalaman. Sekarang kita akan “pergi melampui data” dan membuat spekulasi tentang faktor-faktor penting dalam keberhasilan MBO.
            Dalam jangka panjang, kunci bagi program MBO yang efektif mungkin terletak pada asumsi, keyakinan dan sikap para manajer dan bawahan. Teknik-teknik MBO  akan berjalan dengan bila para manajer memegang teori Y dan tindakan-tindakan serta sikap bawahan sesuai dengan asumsi itu. Manajer teori Y dan bawahan merupakan kombinasi yang ideal dari MBO.

Asumsi Manajer Tentang Para Bawahan
           
Teori X                                   Teori Y                                             
(4) Keberhasilan/kegagalan tergantung kepada sikap yang mengubah?
(1) Kemungkinan besar gagal!
(3) Kemungkinan besar gagal!
(2) Kemungkinan/kegagalan tergantung kepada siapa yang mengubah?


Namun demikian, seperti di tunjukkan dalam gambar atau bagan, kombinasi lainnya dari para manajer dan bawahan akan muncul. Bila para manajer menerima dan para bawahan cocok dengan asumsi teori X, penerapan MBO yang berhasil sangat tidak mungkin. Para manajer mungkin mencoba mengunakan teknik-teknik itu, tetapi keyakinan mereka bahwa teknik-teknik itu tidak akan berjalan dan tidak akan didukung oleh ketidakpuasan para bawahan pada prosedur baru tersebut.
Dalam dua kotak lainnya dari gambar atau bagan tersebut, suatu hasil mungkin akan tergantung kepada siapa yang melakukan perubahan. Prosedur-prsedur MBO dan pandangan positif manajer tentang bawahan yang diungkapkan pada kotak No. 2 mungkin membantu teori Y para bawahan berkembang sampai pada titik di mana mereka cocok dengan asumsi teori tersebut. Dalam hal demikian, program MBO mungkin mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk berhasil atau bahkan dengan asumsi dari teori-teori tersebut. Dalam situasi yang dituliskan pada kotak No. 4, keberhsilan dapat timbul bila manajer dengan sungguh-sungguh menerapkan teknik-teknik MBO, walaupun ia yakin bahwa teknik-teknik itu tidak akan berjalan. Reaksi positif dari para bawahan mungkin menyebabkan manajer mengevaluasi kembali beberapa asumsi dasar

Analisis SWOT dalam perusahaan

1. Pengertian Analisis SWOT
Dalam suatu perusahan atau organisasi terdapat suatu strategi, yang kompehersif untuk mencapai tujuan organisasi. Titik awal dalam memformulasikan strategi biasanya adalah analisis SWOT. SWOT adalah singkatan dari strengths (kekuatan), weknesses (kelemahan), opportunities (peluang), dan threats (ancaman). Analisis SWOT adalah evaluasi atas kekuatan dan kelemahan internal suatu organisasi yang dilakukan secara hati-hati dan juga evaluasi atas peluang dan ancaman dari lingkungan. Dalam analisis SWOT, strategi terbaik untuk mencapai misi suatu organisasi adalah dengan,
1.      mengeksploitasi peluang dan kekuatan suatu organisasi, dan pada saat yang sama.
2.      menetralisasikan ancamannya dan,
3.      menghindari (memperbaiki) kelemahannya.

2.  Tujuan Analisis SWOT
         Analisis SWOT berguna untuk menganalisis faktor-faktor yang ada didalam organisasi yang memberikan konstribusi dan kualitas pelayanan yang salah satu komponennya mempetimbangkan faktor-faktor eksternal dan internal.
         Tujuan dari analisis SWOT adalah bagaimana cara memahami dan melaksanakan suatu analisis SWOT itu sendiri, dan memahami perbedaan diantara kekuatan umum organisasi, itu juga mengembangkan strategi yang baik, kekuatan, peluang, dan menetralisir ancaman. Jadi, analisis SWOT meningkatkan kompetensi unggulan yang dapat membantu manajer atau suatu organisasi dan menghindari keseimbangan persaingan dalam mencapai suatu keunggulan yang kompetitf, serta meningkatkan keahlian tertentu yang dimiliki oleh perusahaan dan unggul dalam meningkatkan kompetensi suatu perusahaan untuk menjadi lebih baik dan sukses diantara perusahaan yang lainnya.
         Analisis SWOT, memberikan konstribusi bagi perusahaan dalam menjalankan suatu proses produksi itu sendiri. Strategi ini berhasil dikembangkan oleh perusahaan WD-40 misalnya, hanya membuat satu produk tunggal, semprotan pelumas WD-40, dan hanya menjualnya  di satu pasar, Amerika Utara. WD-40 telah mempertimbangkan untuk memperluas pasarnya ke Eropa dan Asia akan tetapi terus memusatkan manufaktur, penjualan, dan pemasaran pada satu produk. Strategi produk tunggal memiliki satu kekuatan utama dan satu kelemahan utama. Dengan menkonsentrasikan usahanya secara penuh pada satu produk dan pasar, suatu perusahaan lebih mungkin untuk sangat berhasil dalam manufaktur dan pemasaran produk. Organisasi tersebut bekerja sangat keras untuk memastikan bahwa produk itu berhasil.produk itu tidak akan berhasil bila produk itu digantikan oleh produk yang lebih baru, dan perusahaan akan merugi. Inilah kelemahan bila suatu perusahaan hanya memakai satu produk dan satu pasar.
3.      Pengertian atau Evaluasi Tentang Strengths (Kekuatan), Weaknesses (Kelemahan), Opportunities (Peluang), dan Threats (Ancaman)
A. Mengevaluasi Kekuatan Organisasi
               Kekuatan organisasi (organizational strengths) adalah keahlian dan kemampuan yang menyebabkan suatu organisasi mampu menyusun dan mengimpletasikan strateginya. Sears, misalnya, memilki suatu jaringan di seluruh negeri yang terdiri dari karyawanan pelayanan yang terlatih memperbaiki peralatan Sears. Jane Thompson, seorang eksekutif Sears, menyusun suatu rencana untuk mengkonsolidasikan jasa perbaikan dan peningkatan rumah di seluruh negara di bawah merek Sears yang terkenal dan mepromosikannya sebagai suatu operasi perbaikan umum untuk semua peralatan, tidak hanya untuk peralatan yang dibeli dari Sears. Oleh karaena itu, perusahaan memanfaatkan kemampuan yang ada dan kekuatan namanya untuk meluncurkan suatu operasi baru. Strategi yang berbeda memerlukan keahlian dan kemampuan yang berbeda. Sebagai contoh, Matsushita Elelectric telah menunjukkan kekuatan dalam manufaktur dan penjualan barang-barang elektronik dengan merek Panasonic. Akan tetapi, kekuatan Matsushita dalam elektronik tidak akan menjamin keberhasilan jika perusahaan berekspansi ke bidang asuransi, manufaktur kolam renang, atau ritel. Strategi yang berbeda seperti itu memerlukan kekuatan organisasi yang bebrbeda. Analisis SWOT membagi kekuatan organisasi menjadi dua kategori: kekuatan umum dan kompetensi unggulan. Bekerja dalam keanekaragaman juga mendeskripsikan bagaimana beberapa perusahaan secara efektif menggunakan keanekaragaman untuk membangun kekuatan organisasi.

·         Kekuatan Organisasi Umum
               Kekuatan umum (common strength) adalah kemampuan organisasisonal yang dimiliki oleh sejumlah perusahaan yang bersaing. Sebagai contoh, semua studio film Hollywood yang besar memilki kekuatan umum yang sama dalam pencahayaan, perekaman suara, rancangan lokasi dan kostum, serta tata rias wajah. Keseimbangan persaingan (kompetitive parity) muncul ketika sejumlah besar perusahaan yang bersaing dapat mengimplementasikan strategi yang sama. Dalam situasi tersebut, pada umumuya organisasi hanya mencapai tingkat kinerja rata-rata. Oleh karena itu, suatu perusahaan film yang hanya mengeksploitasi kekuatan umumnya dalam memilih dan mengimplementasikan strategi tidak mungkin melangkah jauh dari kinerja rata-rata.

·         Kompetensi Unggulan
               Suatu kompetensi unggulan adalah suatu kekuatan yang dimiliki oleh hanya sejumlah kecil perusahaan yang saling bersaing. Kompetensi unggulan jarang ditemuakan di antara serangkaian pesaing. Industri Light and Magic (ILM) milik George Lucas, misalnya telah membawa seni sinematik dari special effect ke dalam tingakatan yang baru. Beberapa special effect ILM tidak dapat diproduksi oleh perusahaan lain. Oeleh karena itu special effect yang jarang tersebut merupakan kompetensi unggulan ILM. Organisasi yang mengeksploitasi kompetensi unggulan mereka sering kali memperoleh suatu keunggulan kompetitif dan mencapai kinerja ekonomi di atas normal. Memang tujuan utama analisis SWOT adalah untuk mengungkapkan kompetensi unggulan dari suatu organisasi, sehingga organisasi tersebut dapat memilih dan mengimplementasikan strategi yang mengeksploitasi kekuatan organisasionalnya yang unik.

·         Peniruan Kompetensi Unggulan
               Suatu organisasi yang memliki kompetensi unggulan dan mengeksploitasinya dengan menggunakan strategi yang dipilihnya dapat diharapkan untuk memperoleh suatu keunggulan kompetitif dan kinerja ekonomi di atas normal. Akan tetapi keberhasilannya akan mendorong organisasi lain untuk meniru keunggulan tersebut. Peniruan strategi (strategic imitation) adalah praktik duplikasi kompetensi unggulan perusahaan lain dan oleh karena itu membutuhkan pengimplementasian strategi yang berharga. Walau beberapa kompetensi unggulan dapat ditiru, yang lainnya tidak. Ketika suatu kompetensi tidak dapat ditiru, strategi yang mengeksploitasi kompetensi tersebut menghasilkan suatu keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Sebuah keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (sustained competitive advantage) adalah sebuah keunggulan kompetitif yang tetap ada setelah semua usaha peniruan strategi telah berhenti.
               Suatu kompetensi unggulan mungkin tidak dapat ditiru karena tiga alasan. Pertama, akuisisi atau pengembangan dari kompetensi unggulan tersebut mungkin bergantung pada situasi sejarah yang unik yang tidak dapat ditiru oleh organisasi yang lain. Caterpillar, misalnya, memperoleh keunggulan kompetitif yang berkelanjutan ketika U.S Army memberikan kontrak jangka panjang kepadanya selama perang dunia II. U.S. Army merasa wajib menawarkan kontrak tersebut karena persyaratan pembangunan internasional yang akut mengharuskan untuk memenuhi kebutuhan tentara. Pesaing Caterpillar saat ini termasuk Komatsu dan Deere & Company, tidak dapat menciptakan ulang situasi tersebut.
               Kedua, kompetensi unggulan mungkin sulit untuk ditiru karena sifat dan karakternya mungkin tidak diketahui atau tidak dipahami oleh perusahaan pesaing. Procter & Gamble, misalnya mempertimbangkan bahwa kunggulan kompetitif yang berkelanjutannya didasarkan pada praktik manufakturnya. Sebagian besar daerah di pabrik Procter & Gamble disegel untuk mempertahankan keamanan informasi. Industrial Light & Magic juga menolak untuk mengungkapkan bagaimana ia menciptakan beberapa special effect-nya.
               Terakhir (ketiga), suatu kompetensi unggulan dapat menjadi sulit ditiru jika perusahaan didasarkan pada fenomena sosial yang kompleks, seperti kerja tim orgnisasi atau budaya. Organisasi yang bersaing mungkin tahu, misalya bahwa keberhasilan suatu perusahaan dapat ditelusuri secara langsung pada kerja tim di antara manajernya akan tetapi mungkin saja perusahaan itu tetap tidak dapat meniru kompetensi unggulan tersebut karena kerja tim merupakan suatu hal yang sangat sulit untuk di ciptakan.

B. Mengevaluasi Kelemahan Organisasi
               Kelemahan organisasi (organizational weakness) adalah kekurangan dan kegagalan yang membuat organisasi tidak dapat memilih dan mengimplementsikan strategi yang mendukung misinya. Suatu organisasi pada intinya memiliki dua cara untuk mengatsi kelemahan. Pertama, organisasi mungkin perlu melakukan investasi untuk memperoleh kekuatan yang diperlukan dalam mengimplementasikan strategi yang mendukung misinya. Kedua, organisasi mungkin perlu untuk memodifikasi misinya sehingga misi organisasi tersebut dapat tercapai dengan keahlian dn kemampuan yang sudah dimiliki orgnisasi.
               Dalam praktik, organisasi mengalami kesulitan dalam berfokus pada kelemahan, sebagaian karena anggota organisasi sering kali enggan untuk mengakui  bahwa mereka tidak memiliki semua keahlian dan kemampuan yang diperlukan. Dalam mengevaluasi kelemahan juga perlu dipertanyakan mengenai pertimbangan manajer yang pertama kali memilih misi organisasi dan siapa yang gagal menginvestasikan ketrampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk mencapainya.
               Organisasi yang gagal baik untuk mengakui atau mengatasi kelemahan mereka lebih mungkin untuk mengalami competitive disadvantage. Organisasi memiliki suatu competitive disadvantage pada saat ia tidak mengimplementasikan strategi yang bagus yang diimplementasikan oleh organisasi pesaing. Organisasi dengan suatu competitive disadvantage hanya dapat mencapai tingkat kerja di bawah rata-rata.

C.  Mengevaluasi Suatu Kesempatan (Peluang) dan Acaman     Organisasi
               Apabila evakuasi kekuatan dan kelemahan memusatkan perhatian pada pekerjaan internal dari suatu organisasi, maka evaluasi peluang dan ancaman memerlukan analisis dari lingkungan organisasi. Peluang organisasi (organizational opportunities) adalah bidang-bidang yang mungkin menghasilkan kinerja yang lebih tinggi. Ancaman organisasi (organizational threats) adalah bidang-bidang yang meningkatkan kesulitan bagi organisasi untuk berkinerja pada tingkat yang lebih tinggi. Model lima kekuatan Porter dari lingkungan yang kompetitif yang digunakan untuk mengkarakterisasi potensi peluang dan ancaman dalam lingkungan organisasi.
               Lima kekuatan Porter adalah tingkat persaingan, kekuatan pemasok, kekuatan konsumen, ancaman produk subtitusi, dan ancaman pendatang baru. Secara umum ketika tingkat persaingan kekuatan pemasok dan konsumen dan ancaman produk subtitusi dan pendatang baru semua tinggi, industri memiliki peluang yang relatif kecil dan sejumlah ancaman. Perusahaan dalam jenis bentuk industri seperti ini biasanya memiliki potensi untuk hanya dapat mencapai kinerja ekonomi normal. Di lain pihak, ketika tingkat persaingan, kekuatan pemasok dan konsumen, dan ancaman produk subtitusi, serta ancaman dari pendatang baru yang rendah, maka industri memiliki banyak peluang dan relatif sedikit ancaman. Industri tersebut memiliki potensi untuk mencapai kinerja di atas normal bagi para anggota organisasi.

4. Contoh Alisis SWOT
Ø  Desentralisasi Pendidikan di Indonesia
               Jika dibandingkan dengan kebijakan desentralisasi pendidikan di Amerika Serikat, maka kebijakan desentralisasi pendidikan yang diterapkan di Indonesia tergolong masih sangat baru dan belum memiliki pengalaman. Jelas hal ini sangat masuk akal jika kebijakan ini diimplementasikan di lapangan muncul berbagai permasalahan. Di AS meskipun desentralisasi pendidikan sudah sangat lama diimplementasikan, banyak birokrasi yang menangani kasus-kasus pendidikan. Namun, muncul permasalahan besar yang terjadi secara nasional, sehingga AS melakukan reformasi kebijakan pendidikan.
               Permasalahan yang muncul dalam implementasi desentralisasi pendidikan di Indonesia antara lain: bahwa pendelegasian urusan pendidikan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah cenderung masih di maknai sebagai penyerahan kekuasaan daripada penyerahan aspek pelayanan. Akibatnya pemerintah daerah (khususnya kabupaten atau kota) berpotensi menjadi penguasa tanpa batas jika tidak diimbangi dengan pengembangan instituisi dan SDM daerah (ditegaskan oleh Dr. H. Ace Suryadi staf ahli Mendiknas Bidang Desentralisasi Pendidikan).
               Desentralisasi pendidikan merupakan kekuatan dan peluang bagi keberhasilan implementasi berikutnya. Berikut ini di sajikan hasil analisis SWOT terhadap implementasi kebijakan pendidikan di Indonesia, sebagai berikut:
A.      Strengths (Kekuatan)
Jika digunakan analisis SWOT terhadap implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan ini, maka ada beberapa hal sebagai faktor kekuatan, yaitu:
1.      Secara politis kebijakan desentralisasi pendidikan telah dikenal luas oleh masyarakat dan merupakan kebijakan yang populis.
2.      Proses munculnya dikawal sedemikian rupa oleh para pakar pendidikan dan menjadi agenda pemerintah oleh kalangan politisi. Baik yang ada di parlemen maupun kalangan partai politik.
3.      Jiwa dan ruh kebijakan desentralisasi pendidikan telah lama diidamkan oleh masyarakat khusus dalam menghadapi era globalisasi yang mengharuskan masyarakat memiliki kompetensi dan daya kompetitif yang tinggi.
4.      Adanya dukungan anggaran yang cukup besar bagi pengembangan sektor pendidikan, sebagiamana dicerminkan dalam APBN sejak tahun 2003, yaitu anggarannya sebesar 20% pada sektor pendidikan nasional dari total pengeluran APBN 2003.
5.      Kebijakan ini merupakan bentuk nyata dari diakuinya eksistensi pemerintah daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan bidang pendidikan di daerah.
B.       Weaknesses (kelemahan)
Kebijakan ini memiliki kelemahan, antara lain:
1.      Tidak meratanya ,kemampuan dan kesiapan pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan desentralisasi pendidikan.
2.      Tidak meratnya kemampuan keuangan daerah (PAD) dalam menopang pembiayaan pendidikan di daerahnya masing-masing, terutama daerah miskin.
3.      Belum adanya pengalamn dari pemerintah daerah untuk mengatur pembangunan pendidikan di daerahnya sendiri yang sesuai dengan semangat daerahnya, sehingga implementasi kebijakan desentralisasi pendiddikan dijadikan komoditas pemerintah daerah tertentu dengan tujuan-tujuan jangka pendek.
4.      Belum bersihnya birokrasi dari mentalitas dan budaya korupsi.
5.      Belum jelasnya pos-pos anggaran untuk pendidikan.
C.    Opportunities (Peluang)
Faktor peluang bagi keberhasilan pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu:
1.      Adanya semangat yang kuat dari masyarakat untuk menjadikan implementasi kebijakan ini berhasil karena munculnya kebijakan ini disadari bersama sebagai keinginan masyarakat banyak.
2.      Adanya semangat dari kalangan masyarakat untuk turut serta mengevaluasi pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan di daerah masing-masing. Bahkan muncul LSM atau lembaga non-kepemerintahan yang merelakan diri untuk memonitor dan mengawasi kebijakan ini.

D.    Threats (Ancaman)
Ada beberapa faktor yang, menjadi acaman bagi implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu:
1.      Tidak meratanya hasil prestasi pendidikan dilihat secara nasional karena dimungkinkan munculnya variasi kualitas di masing-masing lembaga pendidikan, baik dalam satu wilayah daerah maupun dengan daerah lainnya.
2.      Faktor tidak meratanya kualitas guru di masing-masing daerah juga di duga sebagai ancaman.

5. Aspek-Aspek Dalam SWOT
Secara umum berdasarkan data bidang bisnis atau yang lainnya, analisis SWOT dapat dilakukan terhadap aspek-aspek berikut:
a.        Sumber daya keuangan, meliputi: modal, arus kas, kewajiban-kewajiban, dan lain-lain.
b.        Fasilitas umum, meliputi: infrasktur umum, transportasi, perkantoran, rumah ibadah, dan lain-lain.
c.        Kemampuan manajemen dan karyawan, meliputi: kemampuan manajemen perusahaan atau organisasi, kemampuan teknis, pengalaman, ketrampilan manajemen top manajer atau karyawan (middle, bawahan).
d.       Manajemen pemasaran, meliputi: keahlian memasarkan produk, mengatasi keterlambatan pengiriman barang terhadap pasar, dan memenuhi permintaan pasar atau konsumen.
e.        Informasi yang tersedia, meliputi: sumber-sumber informasi, ketersediaan informasi untuk melakukan analisis pasar, dan lain-lain.
f.         Lingkungan sosial, meliputi: kondisi sosial penduduk, ketimpangan sosial, penduduk yang heterogen, keadaan masyarakat, dan lain-lain.
g.        Pendidikan penduduk, meliputi: tingkat pendidikan penduduk, kesadaran masyarakat terhadap dunia pendidikan, keterbukaan masyarakat, dan lain-lain
h.        Dan lain-lain.